Jumat, 06 Januari 2012

Definisi Jual-Beli Murabahah (Deferred Payment Sale)

Definisi Jual-Beli Murabahah (Deferred Payment Sale)
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan) [4] Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. [5]  Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu Qudaamah [6], bahkan Ibnu Hubairoh [7] menyampaikan ijma’ dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani [8].) [9]
Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada yang berlaku dimasa lalu [10]. Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi islam memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda?
Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:
1.      Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi). [11]
2.      Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka. [12]
3.      Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi. [13]
4.      Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka. [14]
Definis-definisi diatas cukup jelas memberikan gambaran jual beli murabahah KPP ini.
Bentuk Gambarannya
Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1.    Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya dimuka [15]. Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya. [16]
2.    Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
a.    Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka.
b.    Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya. [17]
3.    Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya. [18]
Pernyataan para Ulama terdahulu tentang Jenis jual beli ini
Permasalahan jual belia murabahah KPP ini sebenarnya bukanlah perkara kontemporer dan baru (Nawaazil) namun telah dijelaskan para ulama terdahulu. Berikut ini sebagian pernyataan mereka:
Imam As-Syafi’i menyatakan: Apabila seorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata: Belilah itu dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian. Lalu ia membelinya maka jual belinya boleh dan yang menyatakan: Saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyaar), apabila ia ingin maka ia akan melakukan jual-beli dan bila tidak maka ia akan tinggalkan. Demikian juga jika ia berkata: ‘Belilah untukku barang tersebut’. Lalu ia mensifatkan jenis barangnya atau ‘barang’ jenis apa saja yang kamu sukai dan saya akan memberika keuntungan kepadamu’, semua ini sama. Diperbolehkan pada yang pertama dan dalam semua yang diberikan ada hak pilih (khiyaar). Sama juga dalam hal ini yang disifatkan apabila menyatakan: Belilah dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo. Jual beli pertamam diperbolehkan dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua. Apabila keduanya memperbaharui (akadnya) maka boleh dan bila berjual beli dengan itu dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut) maka ia termasuk dalam dua hal:
1.    Berjual beli sebelum penjual memilikinya.
2.    Berada dalam spekulasi (Mukhathorah). [19]
Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir 3/129 menyatakan: al-’Inah adalah jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya setelah ia membelinya adalah boleh kecuali yang minta menyatakan: Belilah dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas secara tempo. Maka ia dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat), karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah jatuh tempo dua belas. [20]
Jelaslah dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini bahwa mereka menyatakan pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma’ al-Fiqih al-Islami) menegaskan bahwa jual beli muwaada’ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli murabahah dengan syarat al-Khiyaar untuk kedua transaktor seluruhnya atau salah satunya. Apa bila tidak ada hak al-Khiyaar di sana maka tidak boleh, karena al-Muwaa’adah yang mengikat (al-Mulzamah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri, dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang menjual yang tidak dimilikinya. [21]
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang jual beli ini menjawab: Apabila barang tidak ada di pemilikan orang yang menghutangkannya atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga dan tidak sempurna jual beli diantara keduanya hingga barang tersebut dikepemilikan penjual. [22]
Hukum Bai’ Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat (Ghairu al-Mulzaam)
Telah lalu bentuk kedua dari murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:
1.      Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. Hal ini yang rojih adalah boleh dalam pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Hal itu karena tidak ada dalam bentuk ini ikatan kewajiban menyempurnakan janji untuk bertransaksi atau penggantian ganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut bersepekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu dari keduanya berpaling dari keinginannya maka tidak ada ikatan kewajiban dan tidak ada satupun akibat yang ditanggungnya. [23]
2.      Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang karena masuk dalam kategori al-’Inahsebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah dan inilah yang dirojihkan Syeikh Bakr Abu Zaid. [24]
Hukum Ba’i Murabahah dengan pelaksanaan janji yang mengikat
Untuk mengetahui hukum ini maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan langsung dengannya.
Langkah proses Murabahah KPP bentuk ini
Mu’amalah jual beli murabahah KPP melalui beberapa langkah tahapan, diantara yang terpenting adalah:
1.    Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
a.    Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.
b.    Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.
2.    Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.
3.    Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
4.    Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.
a.    Mengadakan perjanjian yang mengikat.
b.    Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.
c.    Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
d.    Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
5.    Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).
6.    Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7.    Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
a.    Penentuan harga barang.
b.    Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.
c.    Penentuan nisbat keuntungan (profit).
d.    Penentuan syarat-syarat pembayaran.
e.    Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.
Demikianlah secara umum langkah proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil secara bebas dari kitab al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 261-162. sedangkan dalam buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek hal. 107 memberikan skema bai’ Murabahah sebagai berikut:
alurmurabahah
Aqad ganda (Murakkab) dalam Murabahah KPP bentuk ini. [25]
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini terdiri dari:
1.    Ada tiga pihak yang terkait yaitu:
a.    Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
b.    Penjual barang kepada lembaga keuangan.
c.    Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.
2.    Ada dua akad transaksi yaitu:
a.    Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.
b.    Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).
3.    Ada tiga janji yaitu:
a.    Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.
b.    Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.
c.    Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.
Dari sini jelaslah bahwa jual beli murabahah KPP ini adalah jenis akad berganda (al-’Uquud al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji  dan ada tiga pihak. Setelah meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak jelas ada padanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya.
Berdasarkan hal ini maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat sehingga dapat dinyatakan dengan uangkapan: Belkan untuk saya barang dan saya akan berikan untung kamu dengan sekian.
Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk membelinya. Dengan melihat kepada muamalah ini dari seluruh tahapannya dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini adalah Mu’amalah Murakkabah secara umum dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling terikat, sehingga jelas hukumnya berbeda.
Hukumnya
Yang rojih dalam masalah ini adalah tidak boleh dengan beberapa argumen di antaranya:
a.    Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual barang tersebut masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada hakekatnya adalah akad dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini adalah akad batil yang dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.
b.    Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang dengan bunga, karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar darinya secara tempu dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.
c.    Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 5/149)
Al-Muwaa’adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam satu jual beli. [26]
Ketentuan diperbolehkannya
Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli murabahah KPP ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah diperbolehkan dengan tiga hal:
1.      Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.
2.      Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.
3.      Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya. [27]
Demikianlah hukum jual beli ini menurut pendapat ulama syari’at, mudah-mudahan dapat memperjelas permasalahan ini. Wabillahi Taufiq.

Pengertian Wawasan Nusantara

A. Pengertian Wawasan Nusantara
Menurut saya Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pengertian wawasan nusantara menurut prof. Dr. Wan usman (Ketua Program S-2PKN – UI ) “wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam.”.
Kelompok kerja LEMHANAS 1999  mendefenisikan Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. 

Prepositions of Time: at, in, on

Prepositions of Time: at, in, on
We use:
  • at for a PRECISE TIME
  • in for MONTHS, YEARS, CENTURIES and LONG PERIODS
  • on for DAYS and DATES
at
in
on
PRECISE TIME
MONTHS, YEARS, CENTURIES and LONG PERIODS
DAYS and DATES
at 3 o'clock
in May
on Sunday
at 10.30am
in summer
on Tuesdays
at noon
in the summer
on 6 March
at dinnertime
in 1990
on 25 Dec. 2010
at bedtime
in the 1990s
on Christmas Day
at sunrise
in the next century
on Independence Day
at sunset
in the Ice Age
on my birthday
at the moment
in the past/future
on New Year's Eve
Look at these examples:
  • I have a meeting at 9am.
  • The shop closes at midnight.
  • Jane went home at lunchtime.
  • In England, it often snows in December.
  • Do you think we will go to Jupiter in the future?
  • There should be a lot of progress in the next century.
  • Do you work on Mondays?
  • Her birthday is on 20 November.
  • Where will you be on New Year's Day?
Notice the use of the preposition of time at in the following standard expressions:
Expression
Example
at night
The stars shine at night.
at the weekend
I don't usually work at the weekend.
at Christmas/Easter
I stay with my family at Christmas.
at the same time
We finished the test at the same time.
at present
He's not home at present. Try later.
Notice the use of the prepositions of time in and on in these common expressions:
in
on
in the morning
on Tuesday morning
in the mornings
on Saturday mornings
in the afternoon(s)
on Sunday afternoons
in the evening(s)
on Monday evening
When we say last, next, every, this we do not also use at, in, on.
  • I went to London last June. (not in last June)
  • He's coming back next Tuesday. (not on next Tuesday)
  • I go home every Easter. (not at every Easter)
  • We'll call you this evening. (not in this evening)







Prepositions of Place: at, in, on
In general, we use:
  • at for a POINT
  • in for an ENCLOSED SPACE
  • on for a SURFACE
at
in
on
POINT
ENCLOSED SPACE
SURFACE
at the corner
in the garden
on the wall
at the bus stop
in London
on the ceiling
at the door
in France
on the door
at the top of the page
in a box
on the cover
at the end of the road
in my pocket
on the floor
at the entrance
in my wallet
on the carpet
at the crossroads
in a building
on the menu
at the front desk
in a car
on a page
Look at these examples:
  • Jane is waiting for you at the bus stop.
  • The shop is at the end of the street.
  • My plane stopped at Dubai and Hanoi and arrived in Bangkok two hours late.
  • When will you arrive at the office?
  • Do you work in an office?
  • I have a meeting in New York.
  • Do you live in Japan?
  • Jupiter is in the Solar System.
  • The author's name is on the cover of the book.
  • There are no prices on this menu.
  • You are standing on my foot.
  • There was a "no smoking" sign on the wall.
  • I live on the 7th floor at 21 Oxford Street in London.
Notice the use of the prepositions of place at, in and on in these standard expressions:
at
in
on
at home
in a car
on a bus
at work
in a taxi
on a train
at school
in a helicopter
on a plane
at university
in a boat
on a ship
at college
in a lift (elevator)
on a bicycle, on a motorbike
at the top
in the newspaper
on a horse, on an elephant
at the bottom
in the sky
on the radio, on television
at the side
in a row
on the left, on the right
at reception
in Oxford Street
on the way
Prepositions at, in, on
Preposition
Examples
in
We sit in the room.
I see a house in the picture.
There are trouts in the river.
He lives in Paris.
I found the picture in the paper.
He sits in the corner of the room.
He sits in the back of the car.
We arrive in Madrid.
He gets in the car.
She likes walking in the rain.
My cousin lives in the country.
There are kites in the sky.
He plays in the street. (BE)
She lives in a hotel.
The boys stand in a line.
There is a big tree in the middle of the garden.
He is in town.
I have to stay in bed.
You mustn't park your car in front of the school.
The robber is in prison now.
at
She sits at the desk.
Open your books at page 10.
The bus stops at Graz.
I stay at my grandmother's.
I stand at the door.
Look at the top of the page.
The car stands at the end of the street.
Can we meet at the corner of the street?
I met John at a party.
Pat wasn't at home yesterday.
I study economics at university.
The childen are at gandmother's.
He's looking at the park.
He always arrives late at school.
on
The map lies on the desk.
The picture is on page 10.
The photo hangs on the wall.
He lives on a farm.
Dresden lies on the river Elbe.
Men's clothes are on the second floor.
He lives on Heligoland.
The shop is on the left.
My friend is on the way to Moscow.
Write this information on the front of the letter.
When she was a little girl people saw unrealistic cowboy films on television.